INDONESIA SUBUR MAKMUR GEMAH RIPAH LOH JINAWI AYEM TEMTREM KARTA RAHARJO>

Rabu, 01 Juni 2011

AKTUALISASI PANCASILA DAN PELAKSANAAN PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA


Muladi
Mantan Gubernur Lemhannas


Rabu, 1 Juni 2011

Seorang filsuf tersohor Prancis, Ernest Renan, telah memberikan ceramah di Sorbonne pada 11 Maret 1882 dengan judul Qu'est-ce qu 'une Nation? What is a Nation? atau "Apakah yang Dinamakan Suatu Bangsa?"

  • Ernest Renan menyatakan, suatu bangsa tidak terbentuk karena dinasti, ras, bahasa, religi atau kepentingan atau bahkan bukan karena letak geografi. Suatu bangsa merupakan suatu jiwa (a soul) atau suatu asas spiritual (a spiritual principle).




  • Yang pertama, mangggambarkan adanya warisan leluhur tentang kekayaan memori berupa ikhtiar keras, kejayaan, pengorbanan, dan pengabdian para leluhur. Yang kedua adalah hasrat untuk hidup bersama (the desire to live together).




  • Apa yang dikatakan Renan sangat pas dengan anatomi Indonesia, yang masyarakatnya ultrapluralistik, terdiri atas ratusan suku, agama, ras, golongan atau ikatan primordial lainnya. Sumpah Pemuda tahun 1928 berikrar bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa yang dibangun atas dasar unsur subjektif (ikatan primordial). Tetapi, dibangun atas dasar unsur objektif, khususnya berupa kebanggaan sebagai bangsa pejuang melawan penjajah pada masa lalu dan keinginan untuk hidup bersama di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).




  • Untuk mempersatukan kelompok-kelompok primordial yang sangat jamak tersebut, Bung Karno mencetuskan ideologi Pancasila pada 1 Juni 1945. Bung Karno sangat sadar bahwa penonjolan lima sila dalam Pancasila bukan dimaksudkan untuk memarginalkan nilai-nilai agama atau nilai-nilai universal yang telah ada.




  • Yang dilakukan adalah merumuskan Pancasila sebagai sistem peringatan dini (early warning system), yang memberikan sinyal bahwa sebagai bangsa yang sangat pluralistik, sampai kapan pun bangsa Indonesia akan menghadapi masalah permanen atau bahaya laten yang harus dikelola dengan baik. Masalah permaanen itu ialah persoalan toleransi agama, masalah hak asasi dan kewajiban asasi manusia, masalah persatuan dan kesatuan nasional, persoalan demokrasi dan usaha mewujudkan keadilan sosial.




  • Makna perumusan Pancasila yang lain adalah jangan menjadikannya semata-mata sebagai aksesori yang hanya dikumandangkan sebagai salah satu konsensus dasar nasional, di samping UUD RI Tahun 1945, prinsip NKRI dan sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila harus selalu didayagunakan oleh seluruh pemangku kepentingan, sebagai batas-batas pembenaran (margin of appreciation) dalam berbuat dan mengambil keputusan. Dengan demikian, Pancasila akan selalu dinamis, aktual dan bagi bangsa lain akan menjadi elemen karakter yang harus diperhitungkan (predictability) apabila akan berhubungan dengan Indonesia, khususnya di era globalisasi.




  • Apa yang dikatakan oleh Talcott Parsons pada tahun 1950-an patut direnungkan. Parsons menyatakan, suatu sistem sosial akan stabil apabila dapat mendayagunakan apa yang dinamakan AGIL Paradigm. Ini mengajarkan bahwa fungsi sosial berupa kebijakan, norma, dan nilai harus bisa mengintegrasikan (I) atau mengharmonisasikan fungsi ekonomi berupa adaptasi (A) dan interaksi dengan lingkungan, fungsi politik berupa perumusan dan pencapaian tujuan (goal attainment) dan fungsi budaya berupa mempertahankan pola yang merupakan elemen keterpaduan dari sistem sosial atau masyarakat. Sebenarnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pancasila sangat efektif digiatkan lagi disekolah-sekolah TK, SD, SLTP, SLTA, Mahasiswa dan Masyarakat. Asal jangan digunakan untuk alat politik bagi penguasa.



  • Dalam kehidupan bangsa Indonesia, harus bisa mempertahankan pola (latency) yang didasarkan atas ideologi Pancasila merupakan fungsi budaya yang akan menjadikan NKRI sebagai negara yang stabil dan tetap eksis di masa depan.***


    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar