INDONESIA SUBUR MAKMUR GEMAH RIPAH LOH JINAWI AYEM TEMTREM KARTA RAHARJO>

Selasa, 09 Agustus 2011

Rakyat Sudah Tak Percaya dan Muak Terhadap KINERJA PEMERINTAH


  Jeffrey Winters, Guru Besar Ilmu politik
di Universitas Northwestern AS Rabu, 10 Agustus 2011

JAKARTA (Suara Karya): Rakyat sudah muak terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena, antara lain, pemerintah terkesan lebih mementingkan urusan kekuasaan ketimbang masalah kehidupan rakyat.
"Kemarahan masyarakat sudah sangat tinggi. Perasaan tidak puas, tidak percaya terhadap institusi negara, tidak percaya kepada Presiden, dan tidak percaya kepada DPR. Itu tanda indeks muak. Makin mereka menyaksikan semua yang dilakukan institusi-institusi ini, terutama pernyataan pejabat-pejabat yang tidak masuk akal, makin masyarakat muak," ujar guru besar ilmu politik di Universitas Northwestern AS, Jeffrey Winters, kemarin di Jakarta.
Soal lain yang membuat rakyat muak, menurut Jeffrey, adalah konflik internal Partai Demokrat yang dipertontonkan kepada publik. Bahkan, menurutnya, itu bukan hanya terlihat sejak kasus Nazaruddin, melainkan juga saat pemilihan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Jeffrey beranggapan, dari situ konflik perbedaan muncul dan melemahkan nama Presiden SBY yang sebelumnya tidak memilih Anas. "Figthing intern di Demokrat yang dibuka untuk seluruh publik juga terlihat sejak Anas menang," tuturnya.
Jika terus disuguhi berbagai kebobrokan pemerintahan SBY, rakyat bisa saja melakukan gerakan besar-besaran menolak pemerintahan SBY. Apalagi saat ini pemerintahan SBY sedang diuji kasus dugaan korupsi dengan aktor mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin, di beberapa kementerian.
"Kalau memang ada gerakan masyarakat, apa saja bisa terjadi, dan itu kita enggak bisa prediksi. Rakyat memiliki kekuatan besar yang kadang tidak bisa kita duga," kata Jeffrey.
Menurut dia, pilihan bagi SBY hanya kecepatan dan ketegasan bertindak. Jika tidak, Presiden SBY harus siap-siap menerima konsekuensi kemunduran Partai Demokrat dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kader-kader partai tersebut yang terpilih duduk sebagai pejabat pemerintahan.
"Masyarakat berharap tindakan yang berprinsip dan tegas serta cepat. Kalau lama-lama justru timbul pertanyaan. Kalau ada bakteri, langsung minum antibiotik. Jangan tunggu lama-lama. Nah, dalam konteks politik, antibiotiknya adalah tindakan tegas yang berdasarkan hukum," ujar Jeffrey.
Menurut dia, SBY harus bertindak cepat menyelesaikan persoalan yang membelit Partai Demokrat agar mampu mempertahankan kepercayaan rakyat sebelum masa jabatannya selesai.
"Banyak orang yang menyatakan SBY tidak tegas dalam memerintah. Karena itu, jika ingin kembali dengan full power, SBY perlu secepatnya membereskan situasi di Partai Demokrat. Kalau tidak bertindak cepat dan keras, malah posisi dia sebagai presiden untuk sisa jabatannya akan luntur begitu saja," ujarnya.
Jeffrey menambahkan, jika SBY terus membiarkan kondisi sekarang ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin rakyat makin marah. "Jadi, Presiden harus segera bertindak," katanya.
Dia juga menilai, kegagalan Indonesia menjalankan sistem demokrasi dengan baik karena ketidaksiapan sistem hukum yang berfondasi kuat. Secara prosedural, ujarnya, demokrasi di Indonesia sudah cukup bagus. Namun, secara substansial masih harus banyak diperbaiki.
Jeffrey menilai, sistem demokrasi di Indonesia sekarang ini dikuasai para maling. Sebab, hanya mereka yang memiliki uang banyak yang bisa naik.
"Setelah berkuasa, mereka kembali maling untuk mengembalikan sekaligus meraup untung dari investasi yang mereka keluarkan itu. Yang terjadi seperti lingkaran setan. Ada demokrasi, tapi tanpa hukum. Demokrasinya tumbuh, tapi hukumnya tunduk di bawah kendali mereka yang kuat jabatan dan atau uangnya," tutur Jeffrey.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin mengaku terkejut dengan sikap politik 45 tokoh nasional yang mendesak DPR segera membubarkan pemerintahan SBY-Boediono. Secara subtansi, menurut dia, jika pernyataan itu sekadar kritikan, maka itu dapat dianggap lumrah.
"Yang saya tidak setuju adalah membubarkan pemerintah. Apalagi di sini yang disuruh membubarkan adalah DPR. Saya setuju pemerintah harus berbenah dari apa yang dirasakan sekarang ini," ujar Aziz.
Dia berpendapat, pemerintah perlu diberi kesempatan bekerja sesuai konstitusi hingga berakhirnya masa jabatan SBY-Boediono. "Apa yang bisa DPR lakukan adalah mengawal dan mengawasi jalannya pemerintahan," katanya.
Namun, Aziz juga meminta pemerintah lapang dada menerima kritikan keras sejumlah tokoh yang tergabung dalam tokoh politik 45.
Sementara itu, Sekretaris Fraksi PKB DPR Hanif Dakhiri mengaku memahami kegeraman 45 tokoh nasional itu terhadap kinerja pemerintahan.
"Tetapi, kegeraman itu tidak boleh membuat kita gelap mata sehingga kemudian harus dibayar mahal," ujarnya.
Menurut Hanif, permintaan 45 tokoh nasional kepada DPR agar membubarkan pemerintah bukan terletak pada mau atau tidak, melainkan lebih pada persoalan konstitusi. Dia menilai, gagasan itu tidak relevan dan tidak mendidik.
"Kita ini negara hukum. Seburuk apa pun hukum harus dipatuhi. Kritik dan seruan (membubarkan pemerintahan SBY) itu keluar dari koridor konstitusi," kata Hanif.
Meskipun demikian, dia berharap pemerintah peka terhadap kegusaran 45 tokoh nasional itu dan menyerapnya secara seksama. "Jadikan itu bahan evaluasi," ucapnya. (Tri Handayani)
Sumber  : Suara Karya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar