INDONESIA SUBUR MAKMUR GEMAH RIPAH LOH JINAWI AYEM TEMTREM KARTA RAHARJO>

Minggu, 19 Juni 2011

PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN Pidato SBY Cuma Pepesan Kosong belaka

Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care. Senin, 20 Juni 2011

JAKARTA (Suara Karya): Kematian TKI bernama Ruyati binti Sapubi akibat dieksekusi pancung di Arab Saudi menunjukkan bahwa pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai perlindungan buruh migran, pekan lalu, di forum Konferensi Organisasi Buruh Sedunia (ILO) di Jenewa, Swiss, tak lebih dari pepesan kosong.
"Pidato SBY di ILO tidak sesuai dengan realita," kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah di Jakarta kemarin.
Ruyati binti Sapubi (54), warga Kampung Ceger, Kecamatan Sukatani, Bekasi, Jawa Barat, menjalani hukuman mati dengan cara dipancung di Mekah, Arab Saudi, Sabtu (18/6) lalu. Ruyati dihukum mati karena membunuh istri majikannya, Khoiriyah Omar Moh Omar Hilwani, di Mekah, 12 Januari 2010.
Insiden pembunuhan terjadi setelah Ruyati bertengkar dengan istri majikannya karena keinginan untuk pulang tidak dikabulkan. Ruyati dikirim untuk bekerja di Arab Saudi oleh PT Dasa Graha Utama pada 2008.
Hukuman pancung untuk Ruyati ini serta-merta menyulut kontroversi, baik menyangkut laporan kasusnya maupun bobot hukumannya serta ketiadaan upaya pemerintah untuk melindungi warga negaranya yang bekerja di luar negeri.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, masyarakat baru saja dibuai oleh Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Konferensi ILO ke-100 di Jenewa, Swiss, 14 Juni 2011 lalu. Dalam pidatonya, SBY menyatakan, Indonesia memiliki mekanisme perlindungan terhadap buruh migran. Sudah tersedia institusi dan regulasinya.
"Tentu saja pidato ini menyejukkan dan menjanjikan. Namun, buaian pidato SBY tersebut tiba-tiba lenyap ketika muncul pemberitaan mengenai eksekusi hukuman mati dengan cara dipancung terhadap Ruyati binti Sapubi, buruh migran asal Indonesia yang bekerja di Arab Saudi. Ini memperlihatkan pidato SBY di ILO tidak sesuai dengan realitasnya," katanya di Jakarta, kemarin.
Menurut Anis, dari kasus almarhum Ruyati ini, membuktikan bahwa diplomasi luar negeri Pemerintah Indonesia sangat tumpul. Padahal, saat ini, di Arab Saudi, ada sekitar 23 warga negara Indonesia (mayoritas pembantu rumah tangga) menghadapi ancaman hukuman mati. Terakhir ancaman hukuman mati terhadap TKI Darsem. Dalam kasus ini, Pemerintah Indonesia lebih berkonsentrasi dalam pembayaran diyat (uang darah) ketimbang melakukan advokasi litigasi di peradilan maupun diplomasi secara maksimal.
Eksekusi mati terhadap Ruyati binti Sapubi ini merupakan bentuk keteledoran diplomasi bagi buruh migran Indonesia, khususnya TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Publik tidak pernah mengetahui proses hukum dan upaya diplomasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia.
"Keteledoran ini pernah terjadi pada kasus eksekusi mati terhadap Yanti Iriyanti, TKI asal Cianjur yang kasusnya tidak diketahui publik. Bahkan, hingga kini jenazah Yanti belum bisa dipulangkan ke Tanah Air. Dan, dalam kasus Ruyati, Migrant Care sudah menginformasikan ke pemerintah pada Maret 2011, namun tidak pernah ditindaklanjuti," tutur Anis.
Sementara itu, guru besar ilmu hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, Pemerintah Indonesia harus bersikap tegas terhadap tindakan otoritas Arab Saudi yang mengeksekusi mati Ruyati. Jika pemerintah memiliki komitmen tinggi terhadap perlindungan para TKI di Arab Saudi, maka seharusnya tidak hanya sekadar memanggil Dubes Arab Saudi untuk Indonesia.
Jadi harus ada tindakan lain. Ketegasan pemerintah salah satunya dapat diwujudkan dengan menghentikan pengiriman TKI ke Arab Saudi. Pemerintah juga bisa melakukan tindakan diplomatik untuk memperlihatkan ketidaksenangan atas perlakuan terhadap warga negaranya.
"Tindakan diplomatik yang bisa dilakukan pemerintah dapat berupa pemanggilan pulang Dubes Indonesia di Arab Saudi, atau memperkecil dan mengurangi jumlah personel di perwakilan Indonesia di Arab Saudi, meski tidak harus memutuskan hubungan diplomatik," katanya.
Menurut dia, tindakan tegas perlu dilakukan sebagai bentuk protes Indonesia atas tidak diberitahukannya hari eksekusi Ruyati. Selain itu juga untuk mendapatkan alasan dari Pemerintah Arab Saudi terkait merahasiakan waktu eksekusi Ruyati dari pihak KBRI di Riyadh.
"Sikap tegas itu diperlukan agar Arab Saudi tidak melakukan tindakan yang sama. Jadi, ketegasan Pemerintah Indonesia sudah waktunya diperlihatkan, mengingat peristiwanya terus berulang. Contoh ketegasan Australia dalam melindungi warga negaranya yang ditahan di Indonesia karena kasus narkoba, bahkan terbebas dari hukuman mati," tuturnya.
Menanggapi hal ini, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat mengatakan, Ruyati dituduh membunuh dengan cara kejam, yakni menusukkan pedang berkali-kali kepada korban. Di depan pengadilan, Ruyati mengakui perbuatannya tersebut. Namun, diduga Ruyati nekat melakukan pembunuhan kepada majikannya itu karena tekanan yang luar biasa. (Bayu/M Kardeni) an. 
Sumber : Suara karya 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar