INDONESIA SUBUR MAKMUR GEMAH RIPAH LOH JINAWI AYEM TEMTREM KARTA RAHARJO>

Minggu, 19 Juni 2011

TRANSPORTASI PUBLIK Operasi Tunggal KA Komuter Tuai Kecaman Publik

Tulus Abadi, Pengurus harian YLKI. Senin, 20 Juni 2011

JAKARTA (Suara Karya): Meski baru dalam taraf uji coba, single operation system (sistem operasi tunggal) PT KA Commuter Jabodetabek (KCJ) yang menghilangkan kelas ekonomi AC dan ekspres telah menuai banyak kecaman.
Selain kenaikan tarif dinilai tidak logis karena terlalu mahal, PT KA dinilai kurang menyiapkan infrastruktur dan pelayanan penumpang dengan baik.
Yoyok, penumpang asal stasiun kereta api di Bekasi, mengeluhkan kebijakan tarif tersebut. Baginya dan banyak penumpang lain, hal ini sama dengan seperti menghapus kereta ekspres lalu menaikkan tarif ekonomi AC. "Kalau tarifnya dinaikkan, harusnya waktu tunggu (jarak kedatangan antarkereta) dipersempit. Ini sudah 20 menit lebih belum ada kereta datang," katanya.
Sistem operasi tunggal ini akan resmi diterapkan mulai 2 Juli 2011. Sistem ini menghilangkan kereta ekspres dan kereta ekonomi AC. Kedua jenis kereta itu akan digantikan oleh kereta Commuter Line yang berhenti di setiap stasiun. Tarif Commuter Line adalah Rp 9.000 untuk rute Jakarta-Bogor dan Rp 8.000 untuk rute Jakarta-Bekasi, Jakarta-Tangerang, dan Jakarta-Serpong.
Perlu diketahui, sebelumnya tarif kereta ekonomi AC adalah Rp 5.500. Sedangkan tarif KA ekspres seperti Pakuan Ekspres dan Bojonggede Ekspres sebelumnya Rp 11.000. Tapi kereta ekspres itu sebelumnya hanya berhenti di stasiun tertentu saja. Kalau dari Bogor, berhenti di Stasiun UI, Gondangdia, Juanda, langsung Jakarta Kota. Sekarang, kereta komuter berhenti di setiap stasiun.
Pihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melihat sistem operasi tunggal PT KCJ belum saatnya dilaksanakan. "Konsepnya baik, tapi infrastrukturnya belum siap," kata pengurus harian YLKI Tulus Abadi. PT KCJ, kata dia, seharusnya melakukan perbaikan infrastruktur terlebih dahulu. Pelaksanaan sistem operasi tunggal sangat rentan mengingat 70 persen kereta api saat ini tergolong tua dan tidak layak.
Kenaikan tarif, kata Tulus, tidak didasarkan pada data kemampuan bayar konsumen. Telah terjadi selisih yang jauh antara tarif operasional per penumpang dan harga tiket yang dijual. Seharusnya, kata dia, hal itu dapat ditutupi dengan dana public service obligation dari pemerintah Rp 560 miliar per tahun.
Menurut dia, beberapa negara memiliki sistem transportasi yang baik, seperti Jepang, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Tarif kereta di negara-negara itu memang tinggi apabila dirupiahkan. Tetapi kualitas mereka baik karena ditunjang infrastruktur dan pelayanan yang memadai.
Aneh

Di tempat terpisah, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Danang Parikesit, mengatakan, alasan kenaikan tarif dalam sistem operasi tunggal PT KA Commuter Jabodetabek (KCJ) kurang logis. "Sistem operasi tunggal seharusnya mengurangi biaya operasional kereta api. Seharusnya lebih murah," kata Danang, Minggu malam.
Menurut Danang, ada hal yang aneh pada kebijakan kenaikan tarif KA komuter yang mencapai 70 persen. "Kecuali kalau mereka memang bertujuan mengurangi subsidi pemerintah," kata Danang.
Namun, ia menambahkan, pihak PT KCJ tetap wajib menyampaikan alasan dan sosialisai mengenai kebijakan kenaikan tarif ini.
Menurut dia, kebijakan kenaikan tarif ini hanya memperhitungkan sisi bisnis dari PT KCJ dan kurang memperhitungkan kebutuhan masyarakat. Ia juga menyatakan, sistem operasi tunggal ini tidak diikuti dengan penambahan kapasitas, frekuensi, dan waktu operasi. "Tiga hal ini adalah ukuran keberhasilan sebuah sistem kereta api," ujarnya.
MTI mengkhawatirkan kebijakan baru ini dapat menyebabkan para penumpang beralih ke moda transportasi lain. Artinya, kontraproduktif dengan program transportasi massal yang tengah didengung-dengungkan di Ibu Kota.
Lancar

Menanggapi hasil uji coba, Juru Bicara PT KA Sugeng Priyono mengatakan, hasil uji coba operasional KRL komuter selama dua hari (18-19 Juni 2011) umumnya berjalan lancar. Setiap kereta yang diberangkatkan, baik untuk KRL ekonomi maupun AC, sampai ke tujuan sesuai jadwal yang ditentukan.
Kendati demikian, Sugeng mengakui dalam uji coba selama dua hari tersebut terjadi satu kali keterlambatan, sehingga menimbulkan kemarahan sejumlah penumpang. "Pada umumnya berjalan lancar, cuma ada satu kali keterlambatan, tapi bisa diatasi," katanya.
Terkait dengan munculnya protes dari sekelompok pelanggan kereta ekspres, karena adanya penambahan waktu perjalanan, dinilai merupakan hal ajar. Menurut Sugeng, perubahan pola operasional KRL dan penghapusan KRL ekspres memicu tambahan waktu tempuh 20 hingga 25 menit.
Mengacu pada hasil uji coba, maka operasional KRL komuter akan tetap dilaksanakan mulai 2 Juli 2011. Namun, hasil uji coba tetap akan dievaluasi bersama antara PT KA dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kemenhub.
Terkait hal itu, Kepala Komunikasi Publik Kemenhub Bambang S Ervan mengatakan, regulator akan menunggu hasil uji coba KRL komuter selama dua hari. (Syamsuri S/Sadono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar