INDONESIA SUBUR MAKMUR GEMAH RIPAH LOH JINAWI AYEM TEMTREM KARTA RAHARJO>

Rabu, 08 Juni 2011

Stop Ekspor Gas, Prioritaskan untuk Domestik

KEBIJAKAN ENERGI
Stop Ekspor Gas,
Prioritaskan untuk Domestik


A Qoyum Tjandranegara, Pengamat migas. Kamis, 9 Juni 2011

JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah diminta lebih memprioritaskan pemanfaatan gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ini karena gas lebih banyak memberikan manfaat bagi Indonesia dibanding dijual ke luar negeri.
Dalam hal ini, ekspor gas sebaiknya dihentikan sama sekali daripada merugikan negara sendiri. Selama ini untuk menutupi kekurangan pasokan gas, kalangan industri di dalam negeri terpaksa masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar yang harganya mahal. Belum lagi pengguna gas di sektor lainnya.
"Buat apa ekspor kalau tidak menguntungkan dan hanya merugikan diri sendiri. Lebih baik dipakai buat kebutuhan domestik. Optimalisasi penggunaan gas di dalam negeri dapat mengurangi subsidi untuk BBM dan beban keuangan negara," kata pengamat minyak dan gas (migas) A Qoyum Tjandranegara dalam diskusi "Membedah Implementasi Kebijakan dan Kendala Pendistribusian Gas Bumi melalui Pipa" di Jakarta, Rabu (8/6).
Qoyum mengungkapkan, setiap tahun negara kehilangan devisa dari pengurangan net ekspor cukup besar, akibat mengekspor gas murah. Sebaliknya, mengimpor BBM lebih mahal. Akibatnya, pada 2006 lalu Indonesia kehilangan devisa Rp 91,9 triliun. Bahkan, kerugian devisa itu terus meningkat menjadi Rp 101,2 triliun (2007) dan Rp 140 triliun (2009).
Selain itu, menurut dia, biaya operasi terus bertambah akibat penggunaan BBM yang mahal tersebut. Pada 2006 tambahan biaya operasi tercatat Rp 59 triliun. Biaya itu naik menjadi Rp 56,2 triliun (2006), Rp 56,2 triliun (2007), Rp 53,8 triliun serta Rp 73,4 triliun (2009). "Hingga tahun 2010 dan 2011, angka ini diperkirakan terus meningkat," ujar mantan Direktur Utama PT PGN Tbk ini.
Sebab, sesuai data pokok Kementerian Keuangan 2005 hingga 2011, biaya subsidi BBM terus membengkak setiap tahun. Pada 2006 subsidi BBM tercatat Rp 64,2 triliun, lalu naik menjadi Rp 83,8 triliun (2007). Tahun berikutnya naik lagi menjadi Rp 139,1 triliun (2008), Rp 45 triliun (2010) dan Rp 88,9 triliun pada 2011.
Di samping itu, Qoyum juga menjelaskan, biaya subsidi listrik juga meningkat. Pada 2006 subsidi listrik Rp 30,4 triliun. Namun, tahun berikutnya biaya subsidi terus membengkak menjadi Rp 33,1 triliun (2007), Rp 83,9 triliun (2008), Rp 49,5 triliun (2009) dan Rp 55,1 triliun pada 2010. "Ironisnya, subsidi yang begitu besar itu bukan dinikmati rakyat. Industri dalam negeri banyak yang terkapar dan akhirnya mati karena tidak mendapatkan pasokan gas yang cukup," kata dia.
Sementara itu, negara lain justru menikmati karena mendapatkan harga gas jauh lebih murah. Dia juga menyoroti ekspor gas ke China hanya 4 dolar AS per juta kaki kubik (MMBTU). Padahal, industri di dalam negeri bisa menyanggupi dengan harga lebih tinggi.
Sedangkan untuk memenuhi pasokan gas dalam negeri, diperlukan investasi yang harus dilakukan lima tahun ke depan sebesar Rp 94,5 triliun untuk membangun infrastruktur. Investasi sebesar itu di antaranya meliputi pembangunan pipa transmisi Bontang-Semarang, Semarang-Cirebon, Semarang-Surabaya, jaringan pipa distribusi; pembangunan LNG Plant Tangguh, receiving terminal (Jabar, Jatim, dan Sumut), tanker, CNG Mother Stations (250), dan Daughter Station (1.500), serta truk (500).
"Tapi, investasi infrastruktur gas bumi sebesar Rp 94,5 triliun untuk lima tahun ke depan relatif kecil, setara dengan subsidi BBM tahun 2010 Rp 88,9 triliun dan jauh lebih kecil dari subsidi BBM tahun 2008 yang mencapai Rp 139,1 triliun," ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pengusahaan PGN Michael Baskoro berharap kepada pemerintah agar meningkatkan persentase alokasi gas untuk industri. Dengan demikian, bisa memacu pemerataan pengembangan jaringan dan pertumbuhan ekonomi sektor industri.
Apalagi, menurut dia, peningkatan persentase alokasi gas tersebut akan berdampak multiplier effect dan menciptakan lapangan kerja. PGN juga mendapat penugasan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khusus sebagai agent of development dan mitra strategis pemerintah dalam pengembangan infrastruktur jaringan gas dan perlunya evaluasi teknis dan keekonomian yang lebih ketat pada lelang jalur baru. "Para trader gas wajib mengembangkan jaringan mengacu kepada RIJGBN. Dan hak eksklusif niaga berfasilitas selama kontrak pembelian gas," katanya.
Terkait hal ini, Direktur Gas Bumi Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Hendra Fadly mengatakan, usulan hak khusus yang dimaksudkan yakni memberikan fasilitas selama kontrak pembelian gas telah dilakukan. (A Choir)

  Sumber : Suara Karya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar