JAKARTA (Suara Karya): Sikap pemerintah berkeras membeli pesawat baru kepresidenan buatan Boeing, Amerika Serikat, seharga 58 juta dolar AS sangat disesalkan sejumlah kalangan.
Mereka menilai, pembelian pesawat itu tidak patut karena mengabaikan kondisi ekonomi rakyat yang dililit kesulitan. Karena itu pula, mereka mendesak pemerintah agar membatalkan pembelian pesawat itu dan mengalihkan dananya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Menurut mereka, pemerintah juga harus malu oleh sejumlah negara tetangga yang justru membeli pesawat kepresidenan dari PT Dirgantara Indonesia. Mereka yang melontarkan desakan itu adalah Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, Direktur Indonesia Budgeting Center (IBC) Arief Nuralam, dan guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani Yustika secara terpisah kepada Suara Karya di Jakarta, Kamis (9/6). Mensesneg Sudi Silalahi dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR di Jakarta, Rabu (8/6) lalu, mengungkapkan, pemerintah telah memutuskan pembelian pesawat kepresidenan jenis Boeing Business Jet 2. "Kami berhasil menegosiasi harga menjadi 58 juta dari 62 juta dolar AS," katanya. Pembelian pesawat kepresidenan itu juga disetujui DPR. Mensesneg mengaku sudah membuat surat kepada Menteri Keuangan untuk pengadaannya. Pesawat kepresidenan baru ini mulai dirakit pada tahun 2012 dan diperkirakan selesai pada akhir tahun 2013. Dalam situs wwww.dephan.go.id dibeberkan, sewaktu Presiden SBY berkunjung ke PT Dirgantara Indonesia, beberapa waktu lalu, caretaker Dirut PT Dirgantara Indonesia (PTDI) M Nuril Fuad meminta pemerintah membeli pesawat kepresidenan jenis CN-235 buatan PTDI. Dia menyebutkan, Malaysia, Thailand, Korsel, dan Pakistan membeli pesawat CN-235 yang kemudian difungsikan sebagai pesawat kepresidenan. Menurut Ray Rangkuti dan Arif Nuralam, Presiden SBY harus meniru sikap anggota DPR yang akhirnya mau mendengarkan suara rakyat, yakni membatalkan rencana pembangunan gedung baru DPR. Daripada menyetujui pembelian pesawat baru buatan Boeing yang sangat mahal itu, lebih baik pemerintah menggunakan dana untuk itu bagi kepentingan masyarakat, terutama di pedesaan. Menurut Ray, kalau DPR saja mau membatalkan pembangunan gedung baru, mengapa Presiden tidak bisa membatalkan pembelian pesawat. "Ini menunjukkan Presiden tidak peduli terhadap penderitaan rakyat," katanya. Pemerintah seharusnya memiliki kriteria mengenai penyelesaian proyek mega, termasuk pembelian pesawat kepresidenan. Jika di tengah jalan penyelesaian proyek itu harus dihentikan karena kondisi ekonomi rakyat memprihatinkan, itu bukan sesuatu yang haram. "Batalkan saja jika memang rakyat sedang membutuhkan sesuatu yang lebih penting. Pejabat negara kan harusnya melayani rakyat," katanya. Namun, Ray mengakui, pejabat negara akan berkilah bahwa apa yang mereka lakukan, termasuk pembelian pesawat, adalah amanah menjalankan undang-undang. "Pejabat kita masih menomorsatukan hak daripada tanggung jawab. Karena itu, mereka akan mengatakan kalau pembelian pesawat tersebut adalah hak mereka sebagai pejabat negara dan juga menjalankan undang-undang. Mereka lupa, banyak rakyat yang menderita," katanya. Arief Nuralam menambahkan, pembelian pesawat kepresidenan di masa ekonomi sulit sekarang ini merupakan kebijakan berlebihan dan tak pantas dilakukan. "Ini juga bukan langkah efisien," ujarnya. Efisiensi pemerintah, menurut Arief, seharusnya dilakukan Presiden dengan tidak mengajak rombongan kunjungan kerja ke luar negeri dalam jumlah besar. Mereka yang diikutsertakan itu hanya tim kecil dan inti. "Perkecil rombongan dan prioritaskan kunjungan. Dengan begitu, pengeluaran negara juga bisa ditekan maksimal," katanya. Arief menambahkan, seharusnya Presiden lebih membuka diri terhadap kondisi riil di masyarakat yang nyata tertekan secara ekonomi. "Mengapa pemerintah tidak memprioritaskan pembenahan sektor ekonomi kerakyatan lebih dahulu ketimbang membeli pesawat?," katanya. Bagi Ahmad Erani Yustika, rencana pembelian pesawat kepresidenan adalah sebagai bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap kondisi rakyat miskin. Dia mengingatkan, alokasi pendanaan untuk program kesejahteraan rakyat dalam APBN masih terbilang minim. "Pendanaan untuk kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas dibanding pembelian pesawat kepresidenan. Apalagi pembelian pesawat itu tidak urgen, karena Presiden masih bisa menggunakan pesawat milik maskapai penerbangan nasional sebagai pesawat kepresidenan. Tindakan seperti itu bukan hanya dilakukan banyak negara berkembang, melainkan juga negara maju," tutur Erani. Menurut dia, anggaran pengadaan pesawat kepresidenan lebih bermakna jika digunakan untuk menambah subsidi pupuk yang bermanfaat bagi petani -- juga untuk penyediaan air bersih di wilayah tandus dan program lain yang menyejahterakan rakyat. Masih buruknya kinerja pemerintah juga menjadi faktor penting yang harus dipikirkan ketimbang pembelian pesawat kepresidenan. "Penerbangan dan fasilitas yang disediakan pesawat charter nasional juga sudah sangat layak, dalam arti bisa memenuhi standar kepresidenan. Jadi nggak perlu beli pesawat kepresidenan sehingga terkesan untuk gengsi saja," kata Erani. Dia mengingatkan, anggaran untuk operasional pesawat kepresidenan juga akan kian membebani negara karena harus disiapkan mulai dari bahan bakar hingga perawatan pesawat secara rutin. Menurut dia, lebih baik dan lebih bijak jika pemerintah menggunakan anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. "Jika kondisi sosial dan ekonomi rakyat sudah benar-benar baik, jangankan beli pesawat kepresidenan, lebih dari itu pun sah-sah saja," kata Erani. Dia meminta publik terus mengkritisi rencana pembelian pesawat kepresidenan ini. Kemudian tingginya kebocoran anggaran negara, yang menyebabkan program-program yang dibutuhkan masyarakat tidak optimal, juga harus mendapatkan perhatian publik. "Banyak anggaran yang dibiayai APBN menjadi sia-sia karena terjadi banyak kebocoran. Ini perlu dibenahi dengan meningkatkan pengawasan dan perbaikan kinerja di setiap instansi pemerintahan," ucapnya. (Bayu/Feber/Joko) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar