~ Saat seseorang beranjak dewasa, biasanya persoalan hidup menjadi semakin kompleks. Dari persoalan, biaya pendidikan anak yang semakin tinggi, persaingan karir di tempat kerja, dan seribu satu masalah lainya yang datang silih berganti. Secara tak sadar kita pun sesekali menyanjung–nyanjung masa kecil.
Saat masih berstatus murid taman kanak-kanak, atau mengenakan seragam merah-putih, banyak hal-hal baru yang menyenangkan dapat dilakukan, tanpa perlu berfikir rumit. Mulai dari soal bermain, apalagi soal jajanan. Pasti masih terngiang-ngiang di ingatan, bagaimana manisnya permen favorit dan serunya bermain “ular tangga” dengan teman-teman sebaya.
Saat kembali ke kampung halaman. Biasanya satu hal yang ingin dijumpai adalah cemilan–cemilan, yang semasa kecil sering diburu seusai pulang sekolah atau ditengah bel istirahat. Namun tentunya banyak jenis jajanan semasa kecil dulu kini sudah punah alias sulit dijumpai.
Ebi Karsono (37) yang kangen bernostalgia dengan jajanan masa kecil itu merasa perlu untuk melestarikan makanan dan permainan tempo doeloe. Untuk menghadirkan kembali kenangan masa kecil itu ia merintis usaha cemal-cemil bersama dua orang temannya; Yeani dan Rury.
Ebi yakin, rasa kangen yang ia miliki terhadap jajanan dan atribut masa kecil juga dimiliki oleh orang lain. “Cemal-cemil adalah ajang berbagi kenangan masa kecil. Terutama mereka yang sebaya dengan saya,” jelas Eby. Jajanan nostalgia yang dimiliki Cemal-cemil seperti kue telor cecak, permen rokok, permen payung, kue kembang goyang, kue keeping es, kue satu, kue semprit, kue kuping gajah dan lainnya. Juga mainan jadul (jaman dulu ), seperti katak kaleng, dorong-dorongan, gasing, ludo, halma, kitiran dapat ditemukan.
Pada mulanya Cemal–cemil hanyalah sebuah showroom dan dikelola sederhana. Tempatnya pun “numpang” di sebuah restoran di daerah Kemang, Jakarta Selatan, sehingga jumlah jenis barangnya pun masih tidak terlalu banyak. Namun respon pasar terhadap usahanya berkembang. Dari mulai menjual eceran, Eby mengemas jajanan tempo doeloe itu untuk disiapkan pada paket-paket acara ulang tahun khitanan dan cindera mata pernikahan.
”Peminatnya selain sengaja membeli untuk dikonsumsi, biasanya juga datang dari ibu-ibu muda yang ingin mengenalkan kenangan masa kecilnya kepada anaknya,” jelas Eby.
Sesuai dengan konsep bisnisnya yang mengedepankan nuansa nostalgia, sebagian besar barang yang dijual pun didasari konsep tempo dulu. Meski terdapat cemilan umum seperti sele pisang, keripik dan lainnya, kue–kue utamanya dijual dalam kemasan kaleng kerupuk (antik) berukuran mini yang terbuat dari stainless. Sedangkan mainan, hanya sebagai pelengkap. Tersedia bonus bagi konsumen yang membeli dalam jumlah tertentu.
Namun seiring perkembangan bisnis, penyesuaian pemasaran pun terjadi mengikuti permintaan konsumen. Kue yang hanya dijual dalam kemasan kaleng seharga Rp 25 ribu sampai Rp 100 ribu itu, akhirnya juga dijual secara refill (isi ulang). Harganya pun tentu lebih miring. Untuk menghindari citra sebagai toko kue, penjualan isi ulang hanya berlaku untuk konsumen yang pernah membeli kue dengan kemasan kalengnya. Sedangkan untuk pembeli baru, diwajibkan untuk membeli kue yang dikemas dalam kaleng.
”Kami menjual konsep. Kalau menjual kuenya saja, nanti nggak beda seperti toko kue dong,” ujar Yeani Dahlan (33) menimpali. Namanya juga cemilan tempo dulu, maka untuk mendapatkan suplai barang dagangan butuh energi ekstra. Beberapa pabrik memang masih memproduksi jajanan seperti permen karet tato, permen rokok, coklat ayam. Tetapi mungkin karena sudah kalah bersaing dengan jajanan modern jajajan tersebut hanya dapat dijumpai tempat–tempat tertentu.
Setahun sekali, Eby dan Yeani berburu jajanan yang diketahui sebagai makanan masa kecil. Targetnya adalah pasar di kota –kota kecil di Jawa. Biasanya tempat-tempat yang dikunjungi adalah pasar-pasar tradisional.”Di pasar tradisional yang cukup terkenal seperti di pasar Beringharjo (Jogyakarta), masih bisa ditemukan jajanan dan mainan yang semasa kecil saya sudah ada. Namun yang menarik justru ke pasar tradisional yang belum kita ketahui sebelumnya, karena biasanya yang kita temui justru mainan tradisional yang membuat kita histeris…karena bentuknya yang masih sangat tradisional dan susah dijumpai ditempat lain!”
Tapi tidak semua barang yang ada di Cemal-cemil hasil berburu di pasar–pasar tradisional. Beberapa jenis makanan harus diproduksi sendiri atau dipesan secara khusus. Menurut Eby, terkadang beberapa jenis makanan sudah sangat sulit dijumpai. Jika ada, kadang rasa dan bentuknya tidak orisinil lagi. Maka ia mencari orang yang bisa membuatkan makanan atau mainan tersebut untuk mengisi toko.
”Sekitar 20 persen jenis makanan di Cemal-cemil khusus kami pesan, seperti kue kopi yang dikenal Coffenoir yang membuat adalah seorang oma (nenek). Yang lain, seperti kuping gajah, memang ada di pasaran namun bentuknya panjang bukan seperti waktu dulu yang bentuk kuenya bulat, dan yang ada di pasaran juga rasanya berbeda,” terang Eby.
Karena barangnya banyak yang didatangkan secara pesanan, maka stok di toko pun on-off, kadang ada kadang tidak. Namun prinsipnya semua barang dapat disediakan dengan catatan dipesan minimal satu minggu sebelumnya, disesuaikan dengan kemampuan pengrajin yang kebanyakan tidak memiliki kapasitas produksi yang besar.
Eby tidak menyangka bisnisnya dapat berkembang pesat. Yang mulanya hanya showroom kecil-kecilan, ia bisa membuka sebuah toko di Tulodong dan konsinyasi dengan Kemchicks. Pengalaman yang tak terduga menurutnya terjadi saat sebuah pusat perbelanjaan ternama memberi kesempatan Cemal-cemil untuk ikut memeriahkan program khusus hari ulang tahun Jakarta. Selama dua minggu, ia dan teman-temannya terpaksa rajin begadang untuk terus mensuplai jajanan dan mainan secara konstan. Toples-toples harus dijamin tidak terlihat kosong saat program berlangsung, karena alasan estetika.
Mungkin karena terbilang satu–satunya toko yang memiliki konsep cemilan tempo dulu, pasar yang segmented itu pun tergarap dengan baik. Eby mengaku dalam kurun waktu 4 bulan Cemal-cemil yang ia dirikan secara patungan dengan kedua temannya sebesar Rp 60 juta itu sudah balik modal. ”Niatnya cuma kecil-kecilan, nggak bermimpi jadi toko khusus dan sampai mengalami booming seperti saat order Ultah Jakarta itu,” ujar Eby sumringah. [Fitra Iskandar/majalahpengusaha.com/2007]
sumber foto >> majalahpengusaha.com + halo-halo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar